Hari itu hari Minggu, 3:36 dini hari. Sambil menguncir
rambutnya yang hampir tidak bisa dikuncir, ia menaiki mobil tua milik ayahnya.
Melabuh entah kemana tujuannya, juga pikirannya. Ia mengambil telepon
genggamnya, memasang lagu sendu yang ia tau tidak seharusnya ia putar. Mencari
nama yang tidak seharusnya ia telepon. Ah, memandang namanya saja rasa itu
timbul kembali. Ia lempar telepon genggamnya ke kursi sebelahnya sambil terus
berjalan kedepan. Sampailah ia ke sebuah pesisir pantai, tidak jauh dari rumahnya.
Apa yang ia rasakan, kau tanya? Hampa. Sudah 1 bulan ini ia
menjauhi panggilan terapis yang direkomendasikan oleh orang tuanya. Ada yang
salah pada dirinya yang ia coba untuk buang jauh-jauh. Kalau sakit kenapa tidak
berobat? Semua orang berkata demikian. Ingin rasanya ia buang jauh-jauh rasa
gelisah yang menghantui dirinya. Sudah 2 minggu tidak bisa tidur tenang, sudah
segala cara ia lakukan untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Membakar seputung rokok yang perlahan akan menghancurkan
paru-parunya, ia menitikkan air mata sambil menghisap batang itu secara
mendalam. “Kapan terakhir kali aku merasa?” pikirnya. Ia tau
dirinya dicintai banyak orang namun kenapa rasanya tidak cukup? Ia berjalan ke
pesisir pantai, memejamkan matanya dan merasakan setiap ombak air yang
menyentuh kedua kaki mungilnya. Matahari perlahan naik mencium langit. Sinarnya
menyentuh rambut cokelat terang nya, membuka mata dan menghela napas
dalam-dalam.
5:45 pagi, ia berjalan kembali ke mobilnya dan berpulang ke
rumah. Bergegas memasak air panas, mandi dan mencoba hidup satu hari lagi.
No comments:
Post a Comment